Jumat, 22 Februari 2013

Isu Penting dalam Pembelajaran Bahasa



Isu Penting dalam Pembelajaran Bahasa
a. Kompetensi dan Performansi
Telah berabad-abad para ilmuwan dan filsuf bekerja dengan membedakan antara
 kompetensi dan performansi. Kompetensi mengacu pada pengetahuan yang mendasari
 sistem, peristiwa, atau tindakan.  Kompetensi itu tidak dapat diobservasi. Performansi
 merupakan perwujudan atau realisasi kompetensi yang dapat diamati secara jelas. Kompetensi merupakan suatu perbuatan aktual seperti berjalan, menyanyi,
menari, berbicara. Dalam masyarakat teknologi perbedaan kompetensi dan performansi digunakan dalam semua sisi kehidupan, misalnya, diasumsikan anak-anak memiliki kompetensi tertentu dan bahwa kompetensi itu dapat diukur dan dinilai dengan teknik observasi dari sampel yang dipilih dengan apa yang disebut tes atau ujian.
            Mengacu pada bahasa, kompetensi adalah pengetahuan yang mendasari sistem bahasa; ia merupakan kaidah tata bahasa, kosakata, semua butir bahasa dan bagaimana butir-butir itu dirangkai bersama-sama. Performansi adalah produksi aktual (berbicara, menulis) atau pemahaman (menyimak, membaca) terhadap peristiwa bahasa. Chomsky mempersamakan kompetensi dengan pembicara-pendengar yang direalisasikan yang tidak menunjukkan semacam variabel kinerja seperti keterbatasan memori, gangguan, pengalihan perhatian atau minat, kesalahan, fenomena keraguan, seperti pengulangan, salah memulai, jeda, penghilangan, dan penambahan. Inti gagasan Chomsky adalah bahwa sebuah teori bahasa seharusnya menjadi sebuah teori kompetensi supaya linguis jangan sia-sia mengkategorikan sejumlah tertentu variabel yang tidak reflektif terhadap  kemampuan bahasa pembicara atau pendengar.
            Perbedaan itu merupakan isu penting dalam aliran linguistik yang berorientasi pada tata bahasa generatif dengan mereka yang berorientasi pada tata bahasa struktural yang berakar pada behaviorisme. Bagaimana kita menilai secara ilmiah tataran yang tersembunyi yang tidak dapat diobservasi, demikian kaum behavioris mempertanyakan.       

b. Komprehensi dan Produksi
            Komprehensi dan produksi dapat merupakan aspek performansi maupun kompetensi. Mitos yang tersebar selama ini dalam pembelajaran bahasa adalah anggapan bahwa komprehensi, yakni menyimak dan membaca, sama dengan kompetensi, dan produksi, yakni berbicara dan menulis sama dengan performansi. Perlu diketahui bahwa masalah bukanlah demikian itu. Produksi tentu saja dapat diamati secara lebih langsung, tetapi komprehensi juga merupakan performansi seperti halnya produksi (kalau kita pinjam istilah Ferdinand de Saussure adalah keinginan bertindak).
            Dalam bahasa anak kebanyakan bukti observasi dan penelitian menunjukkan superioritas umum komprehensi terhadap produksi: anak-anak tampaknya memahami lebih banyak daripada yang dapat dituturkannya. Katakanlah, misalnya, anak kecil memahami tuturan orang dewasa goblok, gajah, dan sebagainya. Tetapi, kenyataannya anak itu belum dapat mengucapkan kata itu dengan baik. Anak akan mengucapkan sebagai [dobok, dadah]. Dalam penelitian Dardjowidjojo (2003), Echa menyebut gajah sebagai [dadah]. Dardjowidjojo menyebut fenomena itu fenomena [dadah]. Ketika Echa mengatakan [dadah],  Dardjowidjojo mengulanginya sebagai berikut.
D         : Apa Cha? Dadah?
Echa    : Butan.
D         : Dadah, kan?
Echa    : Butan, dadah.
D         : La iya, dadah.
Echa    : Butan, butan. Dadah, dadah.
D         : O, gajah.
Echa    : Iya, dadah.
            Jelaslah bahwa anak-anak memahami lebih banyak daripada yang dapat dituturkannya. Echa baru dapat mengucapkan [dadah], namun dalam pemahamannya, ia sudah sampai pada penuturan tentang gajah. Tampaknya hal itu juga berlaku bagi orang dewasa. Orang dewasa pun banyak memahami kosakata, namun tidak semua kosakata itu mampu digunakannya dalam tuturan. Demikian juga, orang dewasa juga mampu memahami berbagai variasi kalimat, tetapi belum tentu ia mampu memproduksi berbagai ragam kalimat itu.

c. Dasar versus Ajar (nature versus nurture)
            Kontroversi yang terus berkembang dalam pembelajaran bahasa adalah apakah bahasa itu merupakan hasil belajar ataukah sudah merupakan bawaan sejak anak itu lahir? Bahasa itu sudah merupakan dasar atau hasil ajar (nature atau nurture)? Kaum nativis yakin bahwa anak itu sejak lahir sudah diberi bakat bawaan yang disebut piranti pemerolehan bahasa (language acquisition device), atau tata bahasa universal (universal grammar). Hipotesis bakat bawaan ini mungkin merupakan pemecahan masalah atas kontradiksi yang berkembang dalam aliran behaviorisme yang menyatakan bahwa bahasa itu adalah seperangkat kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses kondisioning dan penguatan. Namun, harus diakui bahwa kondisoning semacam itu terlalu lamban dan tidak efisien, serta kurang dapat dipertanggungjawabkan untuk sebuah proses pemerolehan bahasa yang begitu kompleks.
            Hipotesis bakat bawaan menyajikan sejumlah masalah sendiri. Salah satu kesukaran adalah proposisi piranti pemerolehan bahasa hanya menunda isu utama hakikat kapasitas manusia untuk memperoleh bahasa. Dengan  hipotesis itu kita seharusnya memperoleh penjelasan tentang transmisi genetika kemampuan berbahasa tersebut, yang sampai sekarang ternyata tak ada kejelasannya. Sementara hipotesis piranti pemerolehan bahasa itu tetap merupakan hipotesis yang rasional, kita pendam saja rasa ketidakpuasan kita itu secara batin dan siapa tahu suatu saat nanti penjelasan genetika itu akan dapat disampaikan kepada kita.
            Pepatah mengatakan, jangan taruh semua telur yang engkau miliki dalam satu keranjang. Mengapa? Jika keranjang Anda itu jatuh, maka habislah telur Anda. Faktor lingkungan sebenarnya tidak dapat diabaikan. Bertahun-tahun ahli psikologi dan pendidikan  terjebak pada jaring kontroversi dasar dan ajar itu. Bawaan memang diperlukan, tetapi hanya bakat atau bawaan saja tanpa ada faktor di luar itu, berkembangkah bakat itu? Katakan, anak mempunyai bakat bahasa. Baiklah, tetapi, coba asingkan anak itu, bawa ke hutan, lalu diasuh oleh serigala, atau oleh gorila, apa yang terjadi? Maka jadilah dia Mowgli, si manusia serigala; jadilah dia Tarzan, si manusia yang diasuh gorila. Mereka pada awalnya ketika ditemukan manusia sama sekali tak dapat berbicara. Mereka hanya berteriak-teriak laiknya gorila, dan melolong-lolong seperti serigala.  Sebaliknya, tanpa bakat dan hanya ajar saja mampukah manusia mencapai titik yang optimal? Katakanlah Anda atau saya sendiri. Meski saya diajari bermain bulu tangkis bertahun-tahun, mungkin saya tidak akan menjadi Rudy Hartono, menjadi Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Joko Supriyanto, Susi Susanti, Alan Budikusuma, atau Taufik Hidayat jago-jago bulu tangkis Indonesia yang membawa nama harum bangsa di mata dunia. Mungkin saya hanya sedikit pintar bermain bulu tangkis. Mengapa? Dalam diri saya tidak ada bakat untuk itu. Atau dapatkah setiap orang menjadi penyanyi kelas dunia seperi Michael Johnson? Dapatkah Anda dilatih menyanyi barang tiga tahun, atau lebih dan menjadi penyanyi tenar berkelas dunia? Untuk itu dibutuhkan bakat plus pelatihan yang intensif. Jadi, bakat penting, tetapi pembelajaran juga penting. Itulah yang dikenal dengan teori konvergensi dalam pembelajaran. Teori yang memadukan pandangan behavioris dan pandangan nativis.

d. Kesemestaan
            Kontroversi lain yang mirip dengan kontroversi dasar—ajar adalah kesemestaan; pernyataan bahwa bahasa dipelajari dengan cara yang sama, dan lebih lagi, struktur batin bahasa, pada tatarannya yang paling dalam mungkin sama untuk semua bahasa. Linguis struktural sangat yakin bahwa bahasa itu dapat berbeda-beda satu dengan yang lain tanpa batas. Sebaliknya linguis generatif transformasi yang dipelopori oleh Chomsky sangat percaya bahwa ada kesemestaan bahasa, ada tata bahasa universal. Kalau tidak, bagaimana seorang anak dapat belajar bahasa apapun yang dipajankan kepadanya? Kenyataannya anak-anak di dunia ini belajar bahasa dengan cara yang hampir sama. Anak-anak memperoleh  /p/ dan /b/, kemudian /t/ dan /d/ baru kemudian memperoleh /k/ dan /g/. Urutan itu bersifat universal. Tidak ada anak memperoleh /k/ dan /g/ dulu baru yang lainnya. Demikian juga, misalnya, anak memperoleh vokal /a/ dulu baru kemudian /i/ dan /u/. Urutan semacam itu juga tidak bisa dibalikkan,misalnya, anak memperoleh /u/ dulu baru kemudian /i/ dan /a/. tidak demikian halnya. Begitu juga anak akan memproduksi kalimat satu kata dulu, baru dua kata, dan kemudian tiga kata. Kosakata yang dikuasai anak-anak selalu taat pada kaidah sekarang dan sini. Hal-hal yang lampau dan akan datang serta yang jauh tidak akan dikuasai lebih dulu. Itulah sebabnya, misalnya, anak kota akan menguasai kata televisi lebih dulu daripada sapi, atau kerbau. Sebaliknya, misalnya anak desa akan menguasai sapi dan kerbau lebih dulu daripada menguasai kosakata televisi.   

e. Sistematisitas dan Variabilitas
            Asumsi yang muncul dalam pemerolehan bahasa anak adalah sistematisitas proses pemerolehan. Dari tata bahasa tumpu (atau tata bahasa pivot) sampai pada ujaran tiga atau empat kata, serta sampai pada kalimat lengkap yang hamper tak dapat ditentukan panjangnya, anak menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk menyusun kaidah  tentang sistem fonologi, struktur, leksikal, serta semantik  suatu bahasa. Bahasa anak pada setiap tahap perkembangannya memiliki kaidah khusus yang sistematis. Misalnya, pada tataran tertentu, anak itu baru mampu memperoduksi /t/ dan /d/; dan semua bunyi /k/ dan /g/ akan secara sistematis digantikan oleh bunyi /t/ dan /d/. Misalnya, kata bukan, bagus, enggak, akan diucapkan menjadi [butan, badus, endak]. 
            Proses belajar anak itu bervariasi. Penguasaan bunyi-bunyi bahasa mungkin urutannya dapat diramalkandan bersifat universal. Tetapi,kapan anak memperoleh, tepatnya waktunya kapan, dari anak ke anak sangat bervariasi.

f. Bahasa dan Pikiran
            Bertahun-tahun para peneliti menggali hubungan antara bahasa dan kognisi. Menurut pandangan behavioristik, kognisi tak layak dibahas karena terlalu berbau mentalistik dan tidak dapat diamati secara langsung. Padahal, menurut Piaget (1972) perkembangan kognitif merupakan organisme manusia yang paling utama dan bahwa bahasa bergantung  pada dan bersemi karena perkembangan kognitif.
            Peneliti yang lain menekankan pengaruh bahasa pada perkembangan kognitif. Vygotsky mengatakan bahwa interaksi sosial melalui bahasa merupakan prasyarat perkembangan kognitif. Pikiran dan bahasa dipandang sebagai dua operasi kognitif yang tumbuh bersama-sama. Lebih lagi, setiap anak mencapai perkembangan potensialnya melalui interaksi sosial dengan orang dewasa atau dengan teman sebayanya. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) yang diperkenalkan oleh Vygotsky adalah jarak antara kapasitas kognitif aktual anak dengan tataran perkembangan potensialnya.
            Salah satu tokoh yang melontarkan gagasan bahwa bahasa itu mempengaruhi pikiran adalah Benjamin Whorf yang bersama dengan Edward Sapir menghasilkan hipotesis Sapir-Whorf yang terkenal, yang juga dikenal sebagai relativitas bahasa. Hipotesis itu menyatakan bahwa setiap bahasa itu merefleksikan pandangan khusus penggunanya.
            Isu yang penting di sini ialah bagaimanakah bahasa itu mempengaruhi pikiran dan bagaimanakah pikiran itu juga mempengaruhi bahasa. Yang jelas ialah bahwa bahasa itu adalah pandangan hidup kita, bahasa adalah fondasi keberadaan kita, dan berinteraksi secara simultan dengan pikiran dan perasaan.

g. Imitasi (Peniruan)
            Penelitian menunjukkan bahwa anak adalah peniru yang baik. Peniruan merupakan strategi yang penting yang digunakan anak dalam pemerolahan bahasa. Kesimpulan itu tidak akurat dalam tataran global. Memang, penelitian menunjukkan bahwa strategi peniruan merupakan strategi yang banyak digunakan pada awal perkembangan bahasa anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Terbaru