Isu Penting dalam Pembelajaran Bahasa
a. Kompetensi dan Performansi
Telah berabad-abad para ilmuwan dan filsuf bekerja dengan membedakan
antara
kompetensi dan
performansi. Kompetensi mengacu pada pengetahuan yang mendasari
sistem,
peristiwa, atau tindakan. Kompetensi itu
tidak dapat diobservasi. Performansi
merupakan
perwujudan atau realisasi kompetensi yang dapat diamati secara jelas. Kompetensi
merupakan suatu perbuatan aktual seperti berjalan, menyanyi,
menari,
berbicara. Dalam masyarakat teknologi perbedaan kompetensi dan performansi
digunakan dalam semua sisi kehidupan, misalnya, diasumsikan anak-anak memiliki
kompetensi tertentu dan bahwa kompetensi itu dapat diukur dan dinilai dengan
teknik observasi dari sampel yang dipilih dengan apa yang disebut tes atau
ujian.
Mengacu pada bahasa, kompetensi adalah
pengetahuan yang mendasari sistem bahasa; ia merupakan kaidah tata bahasa,
kosakata, semua butir bahasa dan bagaimana butir-butir itu dirangkai
bersama-sama. Performansi adalah produksi aktual (berbicara, menulis) atau
pemahaman (menyimak, membaca) terhadap peristiwa bahasa. Chomsky mempersamakan
kompetensi dengan pembicara-pendengar yang direalisasikan yang tidak
menunjukkan semacam variabel kinerja seperti keterbatasan memori, gangguan,
pengalihan perhatian atau minat, kesalahan, fenomena keraguan, seperti
pengulangan, salah memulai, jeda, penghilangan, dan penambahan. Inti gagasan
Chomsky adalah bahwa sebuah teori bahasa seharusnya menjadi sebuah teori
kompetensi supaya linguis jangan sia-sia mengkategorikan sejumlah tertentu
variabel yang tidak reflektif terhadap
kemampuan bahasa pembicara atau pendengar.
Perbedaan itu merupakan isu penting
dalam aliran linguistik yang berorientasi pada tata bahasa generatif dengan
mereka yang berorientasi pada tata bahasa struktural yang berakar pada
behaviorisme. Bagaimana kita menilai secara ilmiah tataran yang tersembunyi
yang tidak dapat diobservasi, demikian kaum behavioris mempertanyakan.
b. Komprehensi dan Produksi
Komprehensi
dan produksi dapat merupakan aspek performansi maupun kompetensi. Mitos yang
tersebar selama ini dalam pembelajaran bahasa adalah anggapan bahwa
komprehensi, yakni menyimak dan membaca, sama dengan kompetensi, dan produksi,
yakni berbicara dan menulis sama dengan performansi. Perlu diketahui bahwa
masalah bukanlah demikian itu. Produksi tentu saja dapat diamati secara lebih
langsung, tetapi komprehensi juga merupakan performansi seperti halnya produksi
(kalau kita pinjam istilah Ferdinand de Saussure adalah keinginan bertindak).
Dalam bahasa anak kebanyakan bukti
observasi dan penelitian menunjukkan superioritas umum komprehensi terhadap
produksi: anak-anak tampaknya memahami lebih banyak daripada yang dapat
dituturkannya. Katakanlah, misalnya, anak kecil memahami tuturan orang dewasa goblok, gajah, dan sebagainya. Tetapi,
kenyataannya anak itu belum dapat mengucapkan kata itu dengan baik. Anak akan
mengucapkan sebagai [dobok, dadah].
Dalam penelitian Dardjowidjojo (2003), Echa menyebut gajah sebagai [dadah]. Dardjowidjojo menyebut fenomena itu fenomena
[dadah]. Ketika Echa mengatakan [dadah],
Dardjowidjojo mengulanginya sebagai berikut.
D : Apa Cha? Dadah?
Echa : Butan.
D : Dadah, kan?
Echa : Butan, dadah.
D : La iya, dadah.
Echa : Butan, butan. Dadah, dadah.
D : O, gajah.
Echa : Iya, dadah.
Jelaslah bahwa anak-anak memahami
lebih banyak daripada yang dapat dituturkannya. Echa baru dapat mengucapkan
[dadah], namun dalam pemahamannya, ia sudah sampai pada penuturan tentang gajah. Tampaknya hal itu juga berlaku
bagi orang dewasa. Orang dewasa pun banyak memahami kosakata, namun tidak semua
kosakata itu mampu digunakannya dalam tuturan. Demikian juga, orang dewasa juga
mampu memahami berbagai variasi kalimat, tetapi belum tentu ia mampu memproduksi
berbagai ragam kalimat itu.
c. Dasar versus Ajar (nature versus nurture)
Kontroversi yang terus berkembang
dalam pembelajaran bahasa adalah apakah bahasa itu merupakan hasil belajar
ataukah sudah merupakan bawaan sejak anak itu lahir? Bahasa itu sudah merupakan
dasar atau hasil ajar (nature atau
nurture)? Kaum nativis yakin bahwa anak itu sejak lahir sudah diberi bakat
bawaan yang disebut piranti pemerolehan bahasa (language acquisition device), atau tata bahasa universal (universal grammar). Hipotesis bakat
bawaan ini mungkin merupakan pemecahan masalah atas kontradiksi yang berkembang
dalam aliran behaviorisme yang menyatakan bahwa bahasa itu adalah seperangkat
kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses kondisioning dan penguatan.
Namun, harus diakui bahwa kondisoning semacam itu terlalu lamban dan tidak
efisien, serta kurang dapat dipertanggungjawabkan untuk sebuah proses
pemerolehan bahasa yang begitu kompleks.
Hipotesis bakat bawaan menyajikan
sejumlah masalah sendiri. Salah satu kesukaran adalah proposisi piranti
pemerolehan bahasa hanya menunda isu utama hakikat kapasitas manusia untuk
memperoleh bahasa. Dengan hipotesis itu
kita seharusnya memperoleh penjelasan tentang transmisi genetika kemampuan
berbahasa tersebut, yang sampai sekarang ternyata tak ada kejelasannya. Sementara
hipotesis piranti pemerolehan bahasa itu tetap merupakan hipotesis yang
rasional, kita pendam saja rasa ketidakpuasan kita itu secara batin dan siapa
tahu suatu saat nanti penjelasan genetika itu akan dapat disampaikan kepada
kita.
Pepatah mengatakan, jangan taruh semua telur yang engkau miliki
dalam satu keranjang. Mengapa? Jika keranjang Anda itu jatuh, maka habislah
telur Anda. Faktor lingkungan sebenarnya tidak dapat diabaikan. Bertahun-tahun
ahli psikologi dan pendidikan terjebak
pada jaring kontroversi dasar dan ajar itu. Bawaan memang diperlukan, tetapi
hanya bakat atau bawaan saja tanpa ada faktor di luar itu, berkembangkah bakat
itu? Katakan, anak mempunyai bakat bahasa. Baiklah, tetapi, coba asingkan anak
itu, bawa ke hutan, lalu diasuh oleh serigala, atau oleh gorila, apa yang
terjadi? Maka jadilah dia Mowgli, si manusia serigala; jadilah dia Tarzan, si manusia
yang diasuh gorila. Mereka pada awalnya ketika ditemukan manusia sama sekali
tak dapat berbicara. Mereka hanya berteriak-teriak laiknya gorila, dan
melolong-lolong seperti serigala. Sebaliknya, tanpa bakat dan hanya ajar saja
mampukah manusia mencapai titik yang optimal? Katakanlah Anda atau saya
sendiri. Meski saya diajari bermain bulu tangkis bertahun-tahun, mungkin saya
tidak akan menjadi Rudy Hartono, menjadi Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Joko
Supriyanto, Susi Susanti, Alan Budikusuma, atau Taufik Hidayat jago-jago bulu
tangkis Indonesia yang membawa nama harum bangsa di mata dunia. Mungkin saya hanya
sedikit pintar bermain bulu tangkis. Mengapa? Dalam diri saya tidak ada bakat
untuk itu. Atau dapatkah setiap orang menjadi penyanyi kelas dunia seperi
Michael Johnson? Dapatkah Anda dilatih menyanyi barang tiga tahun, atau lebih
dan menjadi penyanyi tenar berkelas dunia? Untuk itu dibutuhkan bakat plus
pelatihan yang intensif. Jadi, bakat penting, tetapi pembelajaran juga penting.
Itulah yang dikenal dengan teori konvergensi dalam pembelajaran. Teori yang
memadukan pandangan behavioris dan pandangan nativis.
d. Kesemestaan
Kontroversi lain yang mirip dengan
kontroversi dasar—ajar adalah kesemestaan; pernyataan bahwa bahasa dipelajari
dengan cara yang sama, dan lebih lagi, struktur batin bahasa, pada tatarannya
yang paling dalam mungkin sama untuk semua bahasa. Linguis struktural sangat
yakin bahwa bahasa itu dapat berbeda-beda satu dengan yang lain tanpa batas.
Sebaliknya linguis generatif transformasi yang dipelopori oleh Chomsky sangat
percaya bahwa ada kesemestaan bahasa, ada tata bahasa universal. Kalau tidak,
bagaimana seorang anak dapat belajar bahasa apapun yang dipajankan kepadanya?
Kenyataannya anak-anak di dunia ini belajar bahasa dengan cara yang hampir
sama. Anak-anak memperoleh /p/ dan /b/,
kemudian /t/ dan /d/ baru kemudian memperoleh /k/ dan /g/. Urutan itu bersifat
universal. Tidak ada anak memperoleh /k/ dan /g/ dulu baru yang lainnya.
Demikian juga, misalnya, anak memperoleh vokal /a/ dulu baru kemudian /i/ dan
/u/. Urutan semacam itu juga tidak bisa dibalikkan,misalnya, anak memperoleh
/u/ dulu baru kemudian /i/ dan /a/. tidak demikian halnya. Begitu juga anak
akan memproduksi kalimat satu kata dulu, baru dua kata, dan kemudian tiga kata.
Kosakata yang dikuasai anak-anak selalu taat pada kaidah sekarang dan sini.
Hal-hal yang lampau dan akan datang serta yang jauh tidak akan dikuasai lebih
dulu. Itulah sebabnya, misalnya, anak kota
akan menguasai kata televisi lebih
dulu daripada sapi, atau kerbau. Sebaliknya, misalnya anak desa
akan menguasai sapi dan kerbau lebih dulu daripada menguasai
kosakata televisi.
e. Sistematisitas dan Variabilitas
Asumsi yang muncul dalam pemerolehan
bahasa anak adalah sistematisitas proses pemerolehan. Dari tata bahasa tumpu
(atau tata bahasa pivot) sampai pada ujaran tiga atau empat kata, serta sampai
pada kalimat lengkap yang hamper tak dapat ditentukan panjangnya, anak
menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk menyusun kaidah tentang sistem fonologi, struktur, leksikal,
serta semantik suatu bahasa. Bahasa anak
pada setiap tahap perkembangannya memiliki kaidah khusus yang sistematis.
Misalnya, pada tataran tertentu, anak itu baru mampu memperoduksi /t/ dan /d/;
dan semua bunyi /k/ dan /g/ akan secara sistematis digantikan oleh bunyi /t/
dan /d/. Misalnya, kata bukan, bagus,
enggak, akan diucapkan menjadi [butan, badus, endak].
Proses belajar anak itu bervariasi.
Penguasaan bunyi-bunyi bahasa mungkin urutannya dapat diramalkandan bersifat
universal. Tetapi,kapan anak memperoleh, tepatnya waktunya kapan, dari anak ke
anak sangat bervariasi.
f. Bahasa dan Pikiran
Bertahun-tahun para peneliti
menggali hubungan antara bahasa dan kognisi. Menurut pandangan behavioristik,
kognisi tak layak dibahas karena terlalu berbau mentalistik dan tidak dapat
diamati secara langsung. Padahal, menurut Piaget (1972) perkembangan kognitif
merupakan organisme manusia yang paling utama dan bahwa bahasa bergantung pada dan bersemi karena perkembangan
kognitif.
Peneliti yang lain menekankan
pengaruh bahasa pada perkembangan kognitif. Vygotsky mengatakan bahwa interaksi
sosial melalui bahasa merupakan prasyarat perkembangan kognitif. Pikiran dan
bahasa dipandang sebagai dua operasi kognitif yang tumbuh bersama-sama. Lebih
lagi, setiap anak mencapai perkembangan potensialnya melalui interaksi sosial
dengan orang dewasa atau dengan teman sebayanya. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) yang
diperkenalkan oleh Vygotsky adalah jarak antara kapasitas kognitif aktual anak
dengan tataran perkembangan potensialnya.
Salah satu tokoh yang melontarkan
gagasan bahwa bahasa itu mempengaruhi pikiran adalah Benjamin Whorf yang
bersama dengan Edward Sapir menghasilkan hipotesis Sapir-Whorf yang terkenal,
yang juga dikenal sebagai relativitas bahasa. Hipotesis itu menyatakan bahwa
setiap bahasa itu merefleksikan pandangan khusus penggunanya.
Isu yang penting di sini ialah bagaimanakah
bahasa itu mempengaruhi pikiran dan bagaimanakah pikiran itu juga mempengaruhi
bahasa. Yang jelas ialah bahwa bahasa itu adalah pandangan hidup kita, bahasa
adalah fondasi keberadaan kita, dan berinteraksi secara simultan dengan pikiran
dan perasaan.
g. Imitasi (Peniruan)
Penelitian menunjukkan bahwa anak
adalah peniru yang baik. Peniruan merupakan strategi yang penting yang
digunakan anak dalam pemerolahan bahasa. Kesimpulan itu tidak akurat dalam
tataran global. Memang, penelitian menunjukkan bahwa strategi peniruan
merupakan strategi yang banyak digunakan pada awal perkembangan bahasa anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar